Rabu, 27 Juli 2016

Lestarikan Permainan Tradisional Lewat Teater



                Mejobo Gayeng, itulah tema yang diselenggarakan oleh team panitia EXPO KKN UNDIP di halaman kantor kecamatan desa Mejobo. Semangat keceriaan dipersembahkan oleh anak-anak kampoeng pintar mejobo yang mampu membius para penonton dengan kocakan ala anak kampung.  Pertunjukan permainan tradisional yang diiringi dengan lagu dolanan itu mampu menyita banyak perhatian terutama bagi mereka para tamu undangan, terlebih mereka yang datang dari luar jawa. kekayaan  daerah harus bisa kita perkenalkan kepada mereka karena ini bagian dari nilai pengetahuan dan edukasi luhur khususnya di tanah jawa.

Dengan persiapan yang hanya dua minggu menjadi tugas berat bagi anak-anak, karena pentas tersebut adalah untuk kali pertamanya. Berkat rasa semangat anak-anak maka pentas tersebut akhirnya berjalan dengan lancar. Sengaja mengusung tema tentang permainan tradisionanl adalah selain sebagai edukasi juga keinginan kampoeng pintar mejobo untuk bisa bersama-sama melestarikan budaya tersebut, karena semakin berkembangnya zaman permainan ini banyak yang dilupakan. Anak-anak sekarang sudah lupa dengan nyanyian seusianya, lagu dolanan yang syarat akan nasihat kini sudah ditelan oleh zaman. Lagu gundul-gundul pacul misalnya, lagu ini memang sangat sederhana, akan tetapi jika kita mampu mengulas maka banyak makna yang terkandung didalamnya. 
Tidak hanya itu saja, masih ada lagu-lagu yang lain seperti cublak-cublak suweng, jamuran, jaranan dst yang kini juga banyak anak yang tidak hafal dengan nyanyian itu. Anak-anak kini lebih asik dengan tontonan TV yang hanya menjadi tontonan dan bukan tuntunan, maka tidak bisa dipungkiri jika ada anak yang berani melawan orang tua, malas untuk belajar, banyak tawuran dan kekerasan. Kita sebagai bangsa yang kaya budaya seyogyanya malu melihat kondisi tersebut, kini setidaknya masih ada kesempatan agar dapat memperbaiki hal tersebut dengan cara mengenalkan budaya luhur kepada anak-anak hingga akhirnya mampu menciptakan budi pekerti yang baik.

Muhammad Jamalludin @Kampoeng Pintar Mejobo

PANCASILA, ANTARA TEORI DAN APLIKASI




            Nampaknya memang mudah sekali kita menghafal pancasila dari sila pertama hingga sila ke lima. Bagaimana tidak, kita di perkenalkan mulai sejak dini tentang pancasila. Masih ingatkah kita tentang empat pilar bangsa?  Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika yang kini sudah mulai terkikis di era globalisasi. Tidak hanya itu, para aparatur negara pun terkesan lupa tentang hal tersebut. Hingga akhirnya yang terjadi adalah korupsi makin merajalela di negara kita. Bicara tentang pancasila, kita memang hafal pada  lima sila, bahkan itu serasa hafal di luar kepala.
Jika kita ditanya sila pertama dan seterusnya kita mampu untuk menjawabnya, namun yang di inginkan apakah hanya sekedar hafal? Tentu tidak, yang jelas adalah kita mampu untuk bisa mengamalkan semua nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sudah seyogyanya selain hafal juga mampu menanamkan itu dalam diri di kehidupan sehari-hari, kita tahu makna dari masing-masing sila yang ada dalam pancasila.
Bagaimana kita berketuhanan yang Maha Esa dan bukan keuangan yang maha kuasa, berkemanusiaan yang adil dan tentu tidak biadab, bagaimana kita mampu bersatu dan tidak menjadikan perseturuan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, bukan kerakyatan yang dipimpin oleh kepentingan dalam permusyawaratan persekongkolan, juga bukan kesenjangan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
            Dengan semakin terlupakannya nilai-nilai Pancasila, pada saat sekarang ini kita banyak menghadapai permasalahan-permasalahan bangsa, salah satunya korupsi. Banyak sekali perbedaan yang ada di negara kita, akan tetapi sekeras atau setajam apapun perbedaan yang terjadi jangan sampai mengoyak persatuan, namun saat sekarang ini, itu yang banyak terjadi. Dan itu harus disikapi dengan kearifan. Guru di kelas harusnya juga ikut berperan aktif pada peserta didik untuk bisa mengaplikasikan lima nilai pancasila. Minimal guru bisa memberikan contoh tindak tanduh atau adi luhung yang nantinya akan di gugu dan di tiru oleh peserta didik.
   Dengan memahami dan juga mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dalam kehidupan sehari-hari, maka kita semakin mencintai dan memahami tentang bangsa ini. Seandainya saja tidak memahami nilai-nilai kebangsaan, bisa saja nantinya bangsa ini bisa dijual.
Maka jika sudah terjual, berarti kita sudah tidak lagi mengormati jasa-jasa pahlawan terdahulu, serta sudah menjual sejarah bangsa. Betapa ironis jika melihat kehormatan bangsa ini direbut oleh bangsa lain, dan sudah saatnya kita pertahankan nilai serta sejarah bangsa.

Oleh : Muhammad Jamalludin (Kampoeng Pintar Mejobo)

Memilih Arah Tujuan Hidup



Profesi adalah sesuatu yang di tekuni sesuai pada bidangnya. Dalam hal ini kita lebih menyoroti tentang profesi orang tua. Banyak anak yang hingga akhirnya merasa terhipnotis melihat pekerjaan yang dilakukan oleh orang tuanya, tentunya melihat dari berbagai faktor yang dicapai oleh orang tua, entah dilihat dari kesuksesan ataukah penghasilan yang dicapai bahkan karena adanya paksaan dari orang tua. Ada juga yang meneruskan perputaran roda kerja keluarga namun ada pula yang mencoba tantangan baru, itu semua adalah pilihan.
Ini semua tergantung dari pilihan si anak tersebut. Namun anak kadang tidak diberi kesempatan untuk memilih, alangkah lebih indahnya jika anak diberi kesempatan memilih menentukan apa yang dia kuasai tanpa ada paksaan dari orang tua. “anak bukanlah ayam yang selalu dikurung dalam kandang” sehingga pengalaman dalam dia berekspresi dan menentukan arah hidupnya kemudian terbatas tanpa tau kondisi sekitar.
Fakta menyebutkan bahwa kesuksesan anak terjadi manakala dia memilih apa yang ia cintai, hingga akhirnya anak akan bersungguh-sungguh dan tidak setengah-setengah dalam menjalankan pilihan tersebut tanpa adanya unsur pemaksaan. Sehingga kesuksesan hidup itu di tentukan oleh ketrampilan anak yang karena ia cinta oleh pilihannya.


Nama   : M. Jamalludin, S.Pd (Kampoeng Pintar Mejobo)

Minggu, 17 Juli 2016

Dolanan Yang Ditelan Oleh Zaman




Cublak-cublak suweng
Suwengé ting gulèndhèr
Mambu ketundung gudhèl
Pak jempol léda ledé
Sapa nggawa ndelikaké
Sir..sirpong dhelé gosong sir
Sirpong dhelé gosong
Sebuah lagu klasik yang penuh kenangan pada waktu kita kecil dulu. Rasanya lagu-lagu dolanan kini telah ditelan oleh zaman. Jarang kita jumpai kembali dolanan-dolanan anak yang mampu menjadikan perkembangan anak selain dalam bangku sekolahan. Iya, dunia sekolah kami, semesta laborat kami, kehidupan pustaka kami, siapapun itu guru kami. Artinya adalah sebuah pengajaran itu dapat kita dapatkan ketika tidak hanya dalam bangku sekolah saja, tetapi juga mampu kita dapatkan disekitar kita dan dimana saja bahkan ketika kita bermain sekaligus.
 Ada sebuah nilai edukasi tersendiri ketika kita mengetahui makna-makna dolanan. Ada ratusan dolanan yang mulai ditelan oleh zaman, pada dolanan tersebut masing-masing juga mempunyai makna tersendiri. Seni permainan anak-anak, nasibnya tidak semanis dulu. Kini sulit menjumpai kegembiraan anak yang berdendang jamuran, gundul-gundul pacul, cublak-cublak suweng, dan sebangsanya, di kala rembulan bersinar terang. Anak-anak lebih suka melihat TV daripada keluar rumah bermain di bawah sinar mentari. Ini gejala memprihatinkan. Setidaknya peristiwa semacam itu bagi generasi tua hanya akan menjadi kenangan. Sebab, generasi selanjutnya tidak lagi melakukan permainan kreatif itu.
Perkembangan seni permainan (dolanan) anak-anak kian lama kian berkurang, dan semakin tidak dikenali oleh anak-anak masa kini. Sebenarnya konsep dalam sebuah permainan itu adalah peninggalan sejarah, ini dimulainya Ki Hajar Dewantara yang mempunyai konsep "Sistem Among" yang menggunakan dolanan anak sebagai sifat kodrat semua anak untuk sarana pendidikan. Sehingga semua dolanan adalah untuk membangkitkan rasa gembira dan kemerdekaan jiwa sang anak.

Kebudayaan Jawa adalah segala-galanya, karena itu dibentuk  menjadi 'berarti' dari sebuah kultur yang juga didalamnya terdapat banyak nilai. Dalam permainan tradisional terdapat lima nilai yang diantaranya adalah:
Pertama, mainan yang bersifat menirukan perbuatan orang dewasa, misalnya: pasaran, mantenan, dayoh-dayohan, membuat rumah dari batu dan pasir, membuat pakaian boneka dari kertas, membuat wayang dari janur atau rumput-rumputan, dan lain sebagainya. Permainan ini dilakukan dengan asyiknya, seakan anak-anak merasakannya sebagai perbuatan yang sungguh-sungguh.
Kedua, permainan untuk mencoba kekuatan dan kecakapan. Permainan ini dengan tidak disadari oleh anak-anak sendiri mempunyai maksud melatih kekuatan dan kecakapan jasmani. Misalnya: tarik-menarik, berguling-guling, bergulat, berkejar-kejaran, gobaksodor, gobak-bunder, bengkat, benthik-uncal, jetungan, genukan dengan gendongan, obrok, tembung, bandhulan, dan masih banyak lagi yang sudah kuranga dikenal lagi oleh generasi masa kini.    
Ketiga, permainan melatih panca-indera. Dalam permainan ini termasuk latihan kecakapan meraba dengan tangan, menghitung bilangan, memperkirakan jarak, menajamkan alat penglihatan dan pendengaran, menggambar, dan lain sebagainya. Permainan semacam ini, misalnya: gatheng, dakon, macanan, sumbar-suru, sumbbarmanuk, sumbar-dulit, kubuk, adu-kecik, adu-kemiri, main kelereng, jirak, bengkat, paton, dekepan, menggambar di tanah, main petak umpet, main bayang-bayangan, serangserongan, dan lain sebagainya. Permainan jenis ke dua dan ke tiga ini erat sekali hubungannya dengan kegiatan olahraga.
Ke empat, permainan dengan latihan bahasa, yaitu permainan anak-anak berupa percakapan. Setiap kali anak-anak berkumpul, biasanya selalu terlibat dalam perbincangan tentang dongeng, cerita pengalaman atai teka-teki, yang menimbulkan tumbuhnya fantasi. Biasanya selalu tampil seseorang dengan teka-tekinya, yang kemudian diikuti oleh yang lain, ketika seseorang tidak hanya pasif menebak saja, tetapi juga membalas mengajukan teka-tekinya sendiri. Ini tidak terbatas pada teka-teki yang sudah lazim saja, seperti: pitik-walik saba kebon, pong-pong bolong, tetapi bisa timbul teka-teki buatan sendiri yang orisinal. Di sinilah tumbuh-kembangnya kecakapan bahasa dan kecerdasan otak.
Ke lima, permainan dengan lagu dan wirama. Membicarakan "dolanan anak" dengan lagu dan gerak wirama, sangatlah luas dan banyak sekali ragamnya, misalnya: jamuran, cublak-cublak suweng, bibi tumbas timun, manuk-manuk dipanah, tokung-tokung, blarak-blarak sempal, demplo, bang-bang-tut, pung-irung, bethu-thonthong, kidang-talun, ilir-ilir karya Sunan kalijaga, dan lain sebagainya.
Di zaman yang serba modern  ini permainan anak tradisional atau yang biasa kita sebut dolanan sudah terlupakan. anak-anak sekarang lebih suka main Playstation, nge-net, game online, atau permainan modern lainnya yang kadang justru berdampak negatif terhadap perkembangan kepribadian mereka. anak-anak sekarang lebih banyak yang malas belajar, berani sama orang tua, atau bahkan bolos sekolah gara-gara kecanduan main game. hal ini tentu perlu kita sikapi dengan bijaksana bagaimana seharusnya sebagai orang tua senantiasa mengawasi, mendidik dan mengajarkan berbagai contoh sikap teladan yang baik.
 Permaianan tradisional pada umumnya mempunyai arti dan makna moral atau  sikap yang baik terhadap perkembangan anak usia dini. sehingga kita perlu untuk menjaga dan melestarikan permainan tersebut karena selain sebagai pelajaran moral terhadap anak, permainan tradisional ini merupakan warisan kesenian bangsa indonesia yang mempunyai nilai tinggi. jangan sampe kesenian-kesenian tersebut justru dipelajari bahkan sampai diklaim sebagai milik budaya negara lain.

oleh : Muhammad Jamalludin @Kampoeng Pintar Mejobo

Jumat, 15 Juli 2016

Kreatif Butuh Pengorbanan Untuk Mau Tau

Banyak orang mengira, jiwa kreatif itu terlahir dari alam. Artinya, seseorang itu menjadi kreatif atau tidak sudah ditetapkan sejak dalam kandungan. Benarkah begitu? Sebagaimana orang punya bakat menyanyi lalu jadi penyanyi atau orang yang sudah berbakat melukis lalu ia jadi pelukis?

Kenyataannya, kreativitas, profesi, dan juga bakat tidaklah bisa dipandang secara absolut. Semua orang sejak ia di dalam kandungan sudah memiliki berbagai potensi. Lagi-lagi, lingkungan, orang-orang terdekat, dan momentum mengambil alih pemicu untuk tumbuh dan mekarnya beragam potensi itu. Berbicara tentang kreativitas, maka saya menyimpulkan, itu pun sudah dimiliki oleh manusia sejak lahir, siapapun orang tuanya. Namun membuat daya kreatif mereka terasah dan bersinar cemerlang membutuhkan sentuhan pengorbanan orang tuanya.

Mengapa saya sebut sebagai pengorbanan? Ya, karena orang tua harus mengalihkan sudut pandang dirinya pada sudut pandang anak-anaknya, berempati dengan pemikiran-pemikiran polos mereka, dan memberi mereka kesempatan untuk menyentuh wilayah-wilayah kehidupan yang lebih luas. Bukan hanya memberi mereka balok kayu berwarna-warni, puzzle beraneka motif, sepeda roda tiga yang mewah, atau aneka mainan khusus anak-anak yang bertebaran di toko; anak-anak juga membutuhkan ijin dari orang tuanya untuk mengucek adonan terigu, mengupas kulit wortel, memeras jeruk, membuat kegiatan sendiri dari dinginnya air yang dituang ke dalam wadah beraneka bentuk, dilengkapi potongan pipa bekas, sedotan jus, dan benda-benda lain yang yada di rumah. 

Jika kita bertanya pada mereka apakah itu, jawabannya mungkin sangat mengejutkan: "Ini adalah pompa air Mama. Ini pipanya dan ini pompanya. Pipa ini ditahan oleh dua buah gelas supaya tidak jatuh. Tadi waktu Ade coba dengan satu gelas, pipanya jatuh Mama".


Eksperimen mereka kadang-kadang sangat cermat, dan mereka menemukan prinsip-prinsip kerja sebuah benda lewat kegiatan tidak terstruktur semacam itu. Pastinya, satu hal yang mereka butuhkan untuk melakukan semuanya, yaitu pengorbanan orang tua untuk melihat celana mereka basah, lantai di halaman depan berantakan, dan jejak-jejak kaki kecil mereka yang basah bercampur debu tak terelakkan harus membekas di ruangan tamu atau dapur kita yang bersih.

Saya bisa merasakan, bagaimana susahnya merelakan anak-anak bermain dengan cara mereka sendiri dengan bahan-bahan bermain hasil imajinasi mereka sendiri, yang sebenarnya sangat mudah dan murah. Masalahnya, kita tidak rela mengijinkan mereka menyentuhnya karena kita tak mau repot dan tak mau melihat ruangan berantakan. Tapi, setelah sekian lama saya memperhatikan perkembangan mereka, cara mereka berpikir, dan antusiasme mereka yang luar biasa saat mereka bermain dengan cara itu, saya sadar, sesungguhnya anak-anak sudah belajar banyak justru lewat kegiatan yang tak terbukukan, tidak terjadwalkan, dan tidak terkurikulumkan secara hitam putih.

Kreativitas tumbuh dari banyak mencoba dan rasa aman serta merdeka dari larangan yang berlebihan. Saya kira itulah pengorbanan terbesar buat orang tua manapun, untuk membuat anak-anak mereka mampu berpikir dan bertindak kreatif dalam menyelesaikan masalah kehidupan.