Minggu, 17 Juli 2016

Dolanan Yang Ditelan Oleh Zaman




Cublak-cublak suweng
Suwengé ting gulèndhèr
Mambu ketundung gudhèl
Pak jempol léda ledé
Sapa nggawa ndelikaké
Sir..sirpong dhelé gosong sir
Sirpong dhelé gosong
Sebuah lagu klasik yang penuh kenangan pada waktu kita kecil dulu. Rasanya lagu-lagu dolanan kini telah ditelan oleh zaman. Jarang kita jumpai kembali dolanan-dolanan anak yang mampu menjadikan perkembangan anak selain dalam bangku sekolahan. Iya, dunia sekolah kami, semesta laborat kami, kehidupan pustaka kami, siapapun itu guru kami. Artinya adalah sebuah pengajaran itu dapat kita dapatkan ketika tidak hanya dalam bangku sekolah saja, tetapi juga mampu kita dapatkan disekitar kita dan dimana saja bahkan ketika kita bermain sekaligus.
 Ada sebuah nilai edukasi tersendiri ketika kita mengetahui makna-makna dolanan. Ada ratusan dolanan yang mulai ditelan oleh zaman, pada dolanan tersebut masing-masing juga mempunyai makna tersendiri. Seni permainan anak-anak, nasibnya tidak semanis dulu. Kini sulit menjumpai kegembiraan anak yang berdendang jamuran, gundul-gundul pacul, cublak-cublak suweng, dan sebangsanya, di kala rembulan bersinar terang. Anak-anak lebih suka melihat TV daripada keluar rumah bermain di bawah sinar mentari. Ini gejala memprihatinkan. Setidaknya peristiwa semacam itu bagi generasi tua hanya akan menjadi kenangan. Sebab, generasi selanjutnya tidak lagi melakukan permainan kreatif itu.
Perkembangan seni permainan (dolanan) anak-anak kian lama kian berkurang, dan semakin tidak dikenali oleh anak-anak masa kini. Sebenarnya konsep dalam sebuah permainan itu adalah peninggalan sejarah, ini dimulainya Ki Hajar Dewantara yang mempunyai konsep "Sistem Among" yang menggunakan dolanan anak sebagai sifat kodrat semua anak untuk sarana pendidikan. Sehingga semua dolanan adalah untuk membangkitkan rasa gembira dan kemerdekaan jiwa sang anak.

Kebudayaan Jawa adalah segala-galanya, karena itu dibentuk  menjadi 'berarti' dari sebuah kultur yang juga didalamnya terdapat banyak nilai. Dalam permainan tradisional terdapat lima nilai yang diantaranya adalah:
Pertama, mainan yang bersifat menirukan perbuatan orang dewasa, misalnya: pasaran, mantenan, dayoh-dayohan, membuat rumah dari batu dan pasir, membuat pakaian boneka dari kertas, membuat wayang dari janur atau rumput-rumputan, dan lain sebagainya. Permainan ini dilakukan dengan asyiknya, seakan anak-anak merasakannya sebagai perbuatan yang sungguh-sungguh.
Kedua, permainan untuk mencoba kekuatan dan kecakapan. Permainan ini dengan tidak disadari oleh anak-anak sendiri mempunyai maksud melatih kekuatan dan kecakapan jasmani. Misalnya: tarik-menarik, berguling-guling, bergulat, berkejar-kejaran, gobaksodor, gobak-bunder, bengkat, benthik-uncal, jetungan, genukan dengan gendongan, obrok, tembung, bandhulan, dan masih banyak lagi yang sudah kuranga dikenal lagi oleh generasi masa kini.    
Ketiga, permainan melatih panca-indera. Dalam permainan ini termasuk latihan kecakapan meraba dengan tangan, menghitung bilangan, memperkirakan jarak, menajamkan alat penglihatan dan pendengaran, menggambar, dan lain sebagainya. Permainan semacam ini, misalnya: gatheng, dakon, macanan, sumbar-suru, sumbbarmanuk, sumbar-dulit, kubuk, adu-kecik, adu-kemiri, main kelereng, jirak, bengkat, paton, dekepan, menggambar di tanah, main petak umpet, main bayang-bayangan, serangserongan, dan lain sebagainya. Permainan jenis ke dua dan ke tiga ini erat sekali hubungannya dengan kegiatan olahraga.
Ke empat, permainan dengan latihan bahasa, yaitu permainan anak-anak berupa percakapan. Setiap kali anak-anak berkumpul, biasanya selalu terlibat dalam perbincangan tentang dongeng, cerita pengalaman atai teka-teki, yang menimbulkan tumbuhnya fantasi. Biasanya selalu tampil seseorang dengan teka-tekinya, yang kemudian diikuti oleh yang lain, ketika seseorang tidak hanya pasif menebak saja, tetapi juga membalas mengajukan teka-tekinya sendiri. Ini tidak terbatas pada teka-teki yang sudah lazim saja, seperti: pitik-walik saba kebon, pong-pong bolong, tetapi bisa timbul teka-teki buatan sendiri yang orisinal. Di sinilah tumbuh-kembangnya kecakapan bahasa dan kecerdasan otak.
Ke lima, permainan dengan lagu dan wirama. Membicarakan "dolanan anak" dengan lagu dan gerak wirama, sangatlah luas dan banyak sekali ragamnya, misalnya: jamuran, cublak-cublak suweng, bibi tumbas timun, manuk-manuk dipanah, tokung-tokung, blarak-blarak sempal, demplo, bang-bang-tut, pung-irung, bethu-thonthong, kidang-talun, ilir-ilir karya Sunan kalijaga, dan lain sebagainya.
Di zaman yang serba modern  ini permainan anak tradisional atau yang biasa kita sebut dolanan sudah terlupakan. anak-anak sekarang lebih suka main Playstation, nge-net, game online, atau permainan modern lainnya yang kadang justru berdampak negatif terhadap perkembangan kepribadian mereka. anak-anak sekarang lebih banyak yang malas belajar, berani sama orang tua, atau bahkan bolos sekolah gara-gara kecanduan main game. hal ini tentu perlu kita sikapi dengan bijaksana bagaimana seharusnya sebagai orang tua senantiasa mengawasi, mendidik dan mengajarkan berbagai contoh sikap teladan yang baik.
 Permaianan tradisional pada umumnya mempunyai arti dan makna moral atau  sikap yang baik terhadap perkembangan anak usia dini. sehingga kita perlu untuk menjaga dan melestarikan permainan tersebut karena selain sebagai pelajaran moral terhadap anak, permainan tradisional ini merupakan warisan kesenian bangsa indonesia yang mempunyai nilai tinggi. jangan sampe kesenian-kesenian tersebut justru dipelajari bahkan sampai diklaim sebagai milik budaya negara lain.

oleh : Muhammad Jamalludin @Kampoeng Pintar Mejobo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar